Sabtu, 14 Desember 2013

Anak Autis



HASIL LAPORAN OBSERVASI BIMBINGAN DAN KONSELING ANAK USIA DINI
(ANAK AUTIS) 


                                                              
 Oleh :

  Anastya Eka Yoanari
1205125035
Kelas : B Pagi
Dosen :
Rahman, S.Pd., M.Pd

                                                                                                                                                                               
PROGRAM STUDI S1-PAUD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

  A. Latar Belakang

Shertzer dan Stone (1971: 40), mengartikan bimbingan sebagai “a process of helping an individual to understand himself and his world ” artinya proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya. Sedangkan Hartono ( 2009 : 2), mengartikan konseling sebagai  sebuah proses bantuan profesional yang diberikan oleh konselor profesional kepada seorang konselingnya.
Layanan bimbingan konseling pada anak usia dini  sangat berbeda dengan konseling pada anak remaja atau dewasa, pada konseling anak remaja maupun dewasa pemecahan masalah serta tanggung jawab terhadap pilihan ada pada tangan konseli itu sendiri. Namun pada anak usia dini yang notabene usia masih di bawah usia pendidikan dasar yakni 0-6 tahun proses berpikir secara logis atau nalar masih belum terbentuk. Selain itu, usia ini masih merupakan usia bermain sehingga rasa tanggung jawabnya masih dalam proses pembentukan.
Pada dasarnya bimbingan konseling untuk anak usia dini merupakan salah satu komponen  terpenting dalam paud. Berfungsi sebagai tempat untuk bekerjasama antara guru dan anak, selain itu bimbingan konseling berfungsi sebagai tempat pengawasan dan sebagai sarana untuk mencari solusi setiap permasalahan pada anak.

   B. Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang diatas maka terdapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Penanganan anak yang bermasalah di sekolah?
2.      Apa penyebab anak bermasalah di sekolah?
3.      Langkah awal apa yang dilakukan untuk mengatasi anak?
4.      Bagaimana penanganan untuk permasalahan yang dihadapi oleh anak?

  C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan laporan observasi ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah yang dibimbing oleh Bapak Rahman, S.PD., M.Pd dan sebagai referensi untuk Guru-guru PAUD dan juga Mahasiswa PAUD.


BAB II
DASAR TEORI

  A.  Pengertian Autisme

Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autism.
Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun.Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa. Seseorang dikatakan menderita autisme apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut: kesulitan dalam berinteraksi sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, menunjukkan perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal.
Di Amerika Serikat, kelainan autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan dan lebih sering banyak diderita anak-anak keturunan Eropa Amerika dibandingkan yang lainnya. Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun. Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme. 

  B.  Gejala  Autisme

Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri.
Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

  C. Penyebab Autisme
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesa mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin

       1.   Faktor Genetik
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen. Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.
  
     2. Faktor Lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat. Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri. Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin tinggi. 

   D. Penanganan Autisme
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
  1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
  2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
  3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
  4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
  5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
    E. Terapi Autisme
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
  • Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada : Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
  • Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
  • TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
  • Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
  • Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
  • Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
  • Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
  • Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).

Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.




BAB III
PEMBAHASAN

A.    Analisis

1.      Nama Anak                      
a.       Nama Lengkap            : Aryo Panembahan Notowijoyo
b.      Nama Panggilan          : Aryo
2.      Jenis Kelamin                    : Laki - laki
3.      TTL                                   : Bontang, 07 – 07 – 2007
4.      Agama                               : Islam
5.      Anak keberapa                  : 1 dari 2 bersaudara
6.      Jumlah Saudara                 : 1 Saudara Kandung
7.      Sekolah                             : TK Tunas Rimba 2
8.      Alamat Sekolah                 : Jln. Manggis No.64, Vorvo
9.      Nama Orang Tua              
a.       Ayah                           : Arief Bustaman 
b.      Ibu                               : Arlina Bachtiar
10.  Pekerjaan Orang Tua        
a.       Ayah                           : Swasta
b.      Ibu                               : Swasta
11.  Alamat Rumah                  : Komp Pesona Mahakam 04/3




Aryo Panembahan Notowijoyo atau yang sering dipanggil Aryo di kelas. Aryo sendiri telah berumur 6 tahun lebih hampir menginjak 7 tahun. Aryo sendiri menurut saya adalah anak yang pintar. Ia sangat pintar menggambar. Menurut guru dan pengasuh yang biasanya mendampingi Aryo di sekolah, Aryo mengeluarkan imajinasinya melalui gambar.
Dalam pengamatan saya , Aryo mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi dan kerap kali menangis di kelas. Jika sudah menangis di kelas Aryo tidak terkontrol, susah dan lama untuk berhenti menangis. Aryo cenderung memiliki karakter yang hyperaktif. Tapi karena Aryo sudah cukup lama bersekolah di TK, perilaku hyperaktif Aryo dalam kegiatan pembelajaran sudah bisa terkontrol, ia sudah mau memperhatikan guru dan focus dalam pembelajaran. Ia juga mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya, walaupun ia tidak bisa diam. Berbeda ketika Aryo baru pertama kali masuk TK Aryo lebih ingin bermain dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik.  Suka berlari, kadang tidak mau mendengarkan cerita dongeng yang diberikan guru tersebut, dan hanya diam atau bermain dengan benda-benda disekitarnya. Aryo juga kurang focus terhadap lawan berbicara, Ketika saya mengajaknya berbicara  Aryo tidak menatap orang ketika berbicara, Ia tetap menjawab pertanyaan orang tetapi ia lebih asyik dengan kegiatan menggambarnya.
Aryo membatasi interaksi dengan lingkungannya. Sehabis istirahat biasanya Aryo tidak langsung bermain seperti teman-temannya, Pada pertemuan pertama saya dengan Aryo, ketika jam Istirahat saya melihat Aryo asyik sekali dengan dunianya sendiri.  Ketika teman-temannya bermain di Luar kelas Aryo malah menggambar di kelas ditemani oleh sang guru dan pengasuhnya. Dari perbincangan saya dengan pengasuhnya, Pengasuh Aryo tidak terlalu membebaskan Aryo bermain terlalu lama. misalnya berlari-lari sampai Aryo berkeringat.
Dalam keseharian Aryo diasuh oleh pengasuhnya dari pagi sampai sore karena orang tua Aryo sibuk berkerja. Hanya setiap hari sabtu saja Aryo diantar oleh orang tuanya.

B.     Sintesis
Berdasarkan hasil dari analisis, saya menyimpulkan Aryo cenderung mempunyai karakter hyperaktif, kurang focus terhadap lawan berbicara, emosi yang tidak terkontrol, ketika Aryo menangis tidak terkontol, kadang menyendiri mempunyai dunianya sendiri,  kalaupun dia ingin bermain bersama teman-temannya kadang malah teman Aryo lah yang tidak mau bermain dengannya.

C.    Diagnosis

Berdasarkan pengamatan dan wawancara saya dengan Guru dan pengasuh Aryo, Hal-hal yang menyebabkan perilaku Aryo menjadi seperti diatas dikarenakan Aryo adalah penderita Autism. Yang mana ciri-ciri autisme terdapat pada diri Aryo, seperti : 
 1. Sebagian banyak ciri-ciri anak autis, mereka lebih banyak pendiam. Kadang kala ada juga yang hiperaktif. Terkadang mereka tertawa atau menangis tanpa tau alasannya. Aryo sendiri termasuk anak yang hyperaktif di kelas. Ketika sehabis jam istirahat ibu guru menyuruh semua anak masuk kelas, semua anak disuruh mengerjakan tugas kolase membuat kaktus. Aryo tidak bisa diam di tempat dia berpindah-pindah sehingga membuat temannya terganggu. Aryo juga sering kali menangis di kelas, jika sudah menangis ia akan lama dan susah dan lama berhenti. Aryo mudah sekali marah kalau diganggu temannya. jika ia marah, ia susah sekali mengontrol emosinya. 
2.  Kurangnya kemampuan untuk menciptakan hubungan sosial dengan memadai. Kondisi ini ditandai dengan rendahnya kontak mata Aryo dengan orang lain, ekspresi muka yang terkesan datar atau dingin. Selain itu, gerak-gerik dari Aryo kurang begitu terarah. 
3. Bahasa yang digunakan dalam berbicara, seringkali tidak menggunakan bahasa yang lazim digunakan oleh temannya. Di samping itu, bahasa yang digunakan cenderung disampaikan secara berulang-ulang. 
4. Cenderung hidup dalam dunia mereka sendiri dan nyaman tanpa perlu berinteraksi dengan teman sebaya mereka. Aryo sering kali ketika jam istirahat tidak langsung bermain bersama teman-temannya, tetapi ia asyik sekali menggambar di temani oleh guru dan pengasuhnya. 
5. Tiadanya rasa empati dan simpati atas masalah yang terjadi pada orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan Aryo yang tidak terlalu peduli dengan temannya. Ketika ia sudah menyelesaikan tugas kolasenya, Ibu Guru menyuruh menggantungnya untuk dikeringkan. Lalu ia berdiri menggantung tugasnya, tetapi karena tidak ada gantungan lagi, Ia malah melepaskan tugas temannya yang telah digantungkan dan menggantinya dengan tugasnya. 
6. Biasanya anak yang menderita Autis sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa dari mulai ringan sampai berat. Aryo sendiri sensitive terhadap suara pesawat.

D.    Prognosis

Langkah awal yang dilakukan untuk Aryo adalah saya melakukan pendekatan kepada Aryo. Ketika jam istirahat saya mencoba untuk mengobrol dengan Aryo. Aryo memang tidak terlalu melakukan kontak mata dengan saya, Ia tetap asyik melakukan kegitannya. Tetapi setidaknya Aryo masih mau menjawab beberapa pertanyaan dari saya.
 Ketika Aryo dalam proses pembelajaran mulai tidak bisa diam berpindah-pindah di tempat di kelas, saya mendekati Aryo dan memberi tahu Aryo secara halus untuk duduk diam di lantai dan tidak mengganggu temannya yang sedang mengerjakan tugasnya. Pada saat kebetulan anak-anak sedang melakukan kegiatan kolase dan duduk di lantai yang beralaskan tikar.
Ketika Aryo menangis tidak terkontrol, saya mencoba untuk membujuk Aryo dengan kata-kata yang halus agar Aryo mau berhenti menangis. ketika Aryo mulai emosi marahnya keluar saya mencoba untuk membujuknya dengan bahasa yang halus dan mengelus punggungnya.

E.     Treatment

Dalam permasalahan Aryo, saya mencoba memberikan penanganan sebagai berikut  :
1.      Memberikan perhatian lebih kepada Aryo, agar bisa lebih memahami  Sikap Aryo. Karena dengan memberikan perhatian akan membuat si anak merasa ada di lingkungannya berada.
2.      Mendekatkan diri kepada Aryo, tidak membiarkan Aryo tenggelam dalm dunianya sendiri. Terus- menerus mengajak Aryo untuk berkomunikasi. Ketika jam istirahat, saya  mulai mendekatkan diri kepada Aryo. Saya menemani Aryo yang sedang asyik menggambar dan saya menggajak aryo untuk berkomunikasi. Walaupun awalnya ia tidak terlalu merespon, tetapi lama kelamaan selama beberapa pertemuan saya dengan Aryo ia mulai merespon pertanyaan-pertanyaan dari saya. Aryo juga mulai melakukan kontak mata dengan saya dan mulai menerima saya.
3.      Memberikan pujian kepada Aryo, ketika ia telah melakukan perbuatan baik. Ketika itu Aryo membantu temannya. Dengan memberikan pujian ia menjadi tahu bahwa berhubungan dengan orang lain ternyata adalah suatu hal yang menyenangkan. Mengajak Aryo juga untuk bermain bersama teman-temannya.
4.      Ketika aryo mulai marah. Mulai mencoba untuk mengetahui penyebab Aryo marah dan menenangkannya dengan cara memeluknya agar lebih tenang.
5.      Ketika Aryo menangis saya mencoba untuk menenangkannya dengan memeluk dan mengelus punggungnya, agar ia lebih  tenang. Setelah beberapa lama aryo pun mulai menjadi tenang.


BAB IV
PENUTUP

   A. Kesimpulan

Autisme adalah gangguan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada anak yang mengidap autis  ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, adanya masalah berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain dan muncul kebutuhan untuk melakukan aktivitas yang sama dan berulang dan juga sensitive terhadap cahaya, bunyi atau bau tertentu mulai ringan sampai berat.

   B.  Saran

Untuk menangani anak penderita autis  guru atau orang tua perlu memberikan perhatian  yang  lebih kepada anak, agar dapat lebih mengerti karakter anak. Sehingga guru atau orang tua akan dapat merespon emosi yang keluar dengan tepat. Terus memberi stimulasi pada anak jangan biarkan anak untuk tenggelam dalm dunianya sendiri, agar komunikasi dua arah anak berkembang. Terus melatih insting social anak dan mengajarkan interaksi social antara anak dengan guru maupun teman-temannya.



DAFTAR PUSTAKA

Hildayani , Rini dkk. Penanganan Anak Berkelainan (Anak  Dengan Kebutuhan Khusus). Universitas terbuka.

 Setyawan, Setiawan. 2012. Autisme dan Ciri-ciri Secara Umum. (Online). (http://shi-ghe.blogspot.com/2012/07/autisme-dan-ciri-ciri-secara-umum.html, diakses tanggal 29 November 2013)

(http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme, diakses tanggal 28 November 2013)





 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar