HASIL
LAPORAN OBSERVASI BIMBINGAN DAN KONSELING ANAK USIA DINI
(ANAK
AUTIS)
Oleh :
Anastya Eka Yoanari
1205125035
Kelas : B Pagi
Dosen :
Rahman, S.Pd., M.Pd
PROGRAM STUDI S1-PAUD
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shertzer dan Stone (1971: 40),
mengartikan bimbingan sebagai “a process
of helping an individual to understand himself and his world ” artinya
proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami diri dan
lingkungannya. Sedangkan Hartono ( 2009 : 2), mengartikan konseling
sebagai sebuah proses bantuan
profesional yang diberikan oleh konselor profesional kepada seorang konselingnya.
Layanan bimbingan konseling pada
anak usia dini sangat berbeda dengan
konseling pada anak remaja atau dewasa, pada konseling anak remaja maupun
dewasa pemecahan masalah serta tanggung jawab terhadap pilihan ada pada tangan
konseli itu sendiri. Namun pada anak usia dini yang notabene usia masih di
bawah usia pendidikan dasar yakni 0-6 tahun proses berpikir secara logis atau
nalar masih belum terbentuk. Selain itu, usia ini masih merupakan usia bermain
sehingga rasa tanggung jawabnya masih dalam proses pembentukan.
Pada dasarnya bimbingan konseling untuk
anak usia dini merupakan salah satu komponen
terpenting dalam paud. Berfungsi sebagai tempat untuk bekerjasama antara
guru dan anak, selain itu bimbingan konseling berfungsi sebagai tempat
pengawasan dan sebagai sarana untuk mencari solusi setiap permasalahan pada
anak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka terdapat rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
Penanganan anak yang bermasalah di sekolah?
2. Apa
penyebab anak bermasalah di sekolah?
3. Langkah
awal apa yang dilakukan untuk mengatasi anak?
4. Bagaimana
penanganan untuk permasalahan yang dihadapi oleh anak?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan
laporan observasi
ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah yang dibimbing oleh Bapak Rahman, S.PD.,
M.Pd dan sebagai referensi untuk Guru-guru PAUD dan
juga Mahasiswa PAUD.
BAB II
DASAR TEORI
A. Pengertian Autisme
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada
seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang
merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders
(ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung
Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development
Disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut
tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada
perilaku penyandang autism.
Gejala-gejala autisme dapat muncul
pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal
tiga tahun.Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa. Seseorang dikatakan menderita
autisme apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut: kesulitan
dalam berinteraksi sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi
secara kualitatif, menunjukkan perilaku yang repetitif, dan mengalami
perkembangan yang terlambat atau tidak normal.
Di Amerika Serikat, kelainan autisme empat kali lebih sering ditemukan pada
anak lelaki dibandingkan anak perempuan dan lebih sering banyak diderita
anak-anak keturunan Eropa Amerika dibandingkan yang lainnya. Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari
112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun. Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia
menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang
mengidap autisme.
B. Gejala
Autisme
Secara historis, para ahli dan
peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang
sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada
ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih
merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat
dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.
Aarons dan Gittents (1992)
merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme
sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting
sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau
mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun
kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi
keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa
perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola
asuh yang kurang tepat.
Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga
yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi
yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan
perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan
selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin
akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan
kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa
yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan
kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan
keterampilan-keterampilan anak sendiri.
Mungkin tepat bila kemudian
disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan
keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas
anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain,
perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan
musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
C. Penyebab
Autisme
Hingga kini apa yang menyebabkan
seseorang dapat menderita autisme belum diketahui secara pasti. Riset-riset
yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesa mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu
autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
1. Faktor Genetik
Faktor genetik diyakini memiliki
peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya
bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.Riset yang dilakukan terhadap anak
autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen
sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5
hingga 8,5 persen. Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai
penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama
sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.
2. Faktor Lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan
oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana
gejala-gejala autisme mulai terlihat. Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan
vaksin tersebut mengandung merkuri. Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi
menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa
autisme disebabkan oleh pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal dalam
pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin
tinggi.
D. Penanganan Autisme
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme
merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di
Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan
faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan
penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
- Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
- Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
- Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
- Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
- Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
E. Terapi Autisme
Beberapa jenis terapi bersifat
tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya
mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak
banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang
standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa
terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun
keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya;
komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya
meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy)
dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian
sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak
menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi
orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung
kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini
adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu
yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
- Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada : Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
- Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
- TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
- Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
- Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
- Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
- Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
- Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi
yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk
memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan
mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data
ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua
di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu
penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki
anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum
lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu
sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang
ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin
secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang
berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak,
berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat
anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya
menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai
basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan
pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak
ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga
sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu
jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan
atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi.
Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara
konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk
intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan
kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Analisis
1. Nama
Anak
a. Nama
Lengkap : Aryo Panembahan
Notowijoyo
b. Nama
Panggilan : Aryo
2. Jenis
Kelamin : Laki - laki
3. TTL : Bontang, 07
– 07 – 2007
4. Agama : Islam
5. Anak
keberapa : 1 dari 2
bersaudara
6. Jumlah
Saudara : 1 Saudara
Kandung
7. Sekolah : TK Tunas Rimba 2
8. Alamat
Sekolah : Jln. Manggis No.64, Vorvo
9. Nama
Orang Tua
a. Ayah : Arief Bustaman
b. Ibu : Arlina Bachtiar
10. Pekerjaan
Orang Tua
a. Ayah : Swasta
b. Ibu : Swasta
11. Alamat
Rumah : Komp Pesona Mahakam 04/3
Aryo
Panembahan Notowijoyo atau yang sering dipanggil Aryo di kelas. Aryo sendiri
telah berumur 6 tahun lebih hampir menginjak 7 tahun. Aryo sendiri menurut saya
adalah anak yang pintar. Ia sangat pintar menggambar. Menurut guru dan pengasuh
yang biasanya mendampingi Aryo di sekolah, Aryo mengeluarkan imajinasinya
melalui gambar.
Dalam pengamatan saya , Aryo
mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi dan kerap kali menangis di kelas. Jika
sudah menangis di kelas Aryo tidak terkontrol, susah dan lama untuk berhenti
menangis. Aryo cenderung memiliki karakter yang hyperaktif. Tapi karena Aryo
sudah cukup lama bersekolah di TK, perilaku hyperaktif Aryo dalam kegiatan
pembelajaran sudah bisa terkontrol, ia sudah mau memperhatikan guru dan focus
dalam pembelajaran. Ia juga mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya,
walaupun ia tidak bisa diam. Berbeda ketika Aryo baru pertama kali masuk TK Aryo
lebih ingin bermain dan tidak dapat berkonsentrasi dengan
baik. Suka berlari, kadang tidak mau
mendengarkan cerita dongeng yang diberikan guru tersebut, dan hanya diam atau
bermain dengan benda-benda disekitarnya. Aryo juga kurang focus terhadap
lawan berbicara, Ketika saya mengajaknya berbicara Aryo tidak menatap orang ketika berbicara, Ia
tetap menjawab pertanyaan orang tetapi ia lebih asyik dengan kegiatan
menggambarnya.
Aryo membatasi interaksi dengan
lingkungannya. Sehabis istirahat biasanya Aryo tidak langsung bermain seperti
teman-temannya, Pada pertemuan pertama saya dengan Aryo, ketika jam Istirahat
saya melihat Aryo asyik sekali dengan dunianya sendiri. Ketika teman-temannya bermain di Luar kelas
Aryo malah menggambar di kelas ditemani oleh sang guru dan pengasuhnya. Dari
perbincangan saya dengan pengasuhnya, Pengasuh Aryo tidak terlalu membebaskan
Aryo bermain terlalu lama. misalnya berlari-lari sampai Aryo berkeringat.
Dalam keseharian Aryo diasuh oleh
pengasuhnya dari pagi sampai sore karena orang tua Aryo sibuk berkerja. Hanya
setiap hari sabtu saja Aryo diantar oleh orang tuanya.
B. Sintesis
Berdasarkan hasil dari analisis,
saya menyimpulkan Aryo cenderung mempunyai karakter hyperaktif, kurang focus
terhadap lawan berbicara, emosi yang tidak terkontrol, ketika Aryo menangis
tidak terkontol, kadang menyendiri mempunyai dunianya sendiri, kalaupun dia ingin bermain bersama
teman-temannya kadang malah teman Aryo lah yang tidak mau bermain dengannya.
C. Diagnosis
Berdasarkan pengamatan dan wawancara
saya dengan Guru dan pengasuh Aryo, Hal-hal
yang menyebabkan perilaku Aryo menjadi seperti diatas dikarenakan
Aryo adalah penderita Autism. Yang
mana ciri-ciri autisme terdapat pada diri Aryo, seperti :
1. Sebagian banyak ciri-ciri anak autis, mereka lebih banyak pendiam. Kadang kala ada juga yang hiperaktif. Terkadang mereka tertawa atau menangis tanpa tau alasannya. Aryo sendiri termasuk anak yang hyperaktif di kelas. Ketika sehabis jam istirahat ibu guru menyuruh semua anak masuk kelas, semua anak disuruh mengerjakan tugas kolase membuat kaktus. Aryo tidak bisa diam di tempat dia berpindah-pindah sehingga membuat temannya terganggu. Aryo juga sering kali menangis di kelas, jika sudah menangis ia akan lama dan susah dan lama berhenti. Aryo mudah sekali marah kalau diganggu temannya. jika ia marah, ia susah sekali mengontrol emosinya.
2. Kurangnya kemampuan untuk menciptakan hubungan sosial dengan memadai. Kondisi ini ditandai dengan rendahnya kontak mata Aryo dengan orang lain, ekspresi muka yang terkesan datar atau dingin. Selain itu, gerak-gerik dari Aryo kurang begitu terarah.
3. Bahasa yang digunakan dalam berbicara, seringkali tidak menggunakan bahasa yang lazim digunakan oleh temannya. Di samping itu, bahasa yang digunakan cenderung disampaikan secara berulang-ulang.
4. Cenderung hidup dalam dunia mereka sendiri dan nyaman tanpa perlu berinteraksi dengan teman sebaya mereka. Aryo sering kali ketika jam istirahat tidak langsung bermain bersama teman-temannya, tetapi ia asyik sekali menggambar di temani oleh guru dan pengasuhnya.
5. Tiadanya rasa empati dan simpati atas masalah yang terjadi pada orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan Aryo yang tidak terlalu peduli dengan temannya. Ketika ia sudah menyelesaikan tugas kolasenya, Ibu Guru menyuruh menggantungnya untuk dikeringkan. Lalu ia berdiri menggantung tugasnya, tetapi karena tidak ada gantungan lagi, Ia malah melepaskan tugas temannya yang telah digantungkan dan menggantinya dengan tugasnya.
6. Biasanya anak yang menderita Autis sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa dari mulai ringan sampai berat. Aryo sendiri sensitive terhadap suara pesawat.
1. Sebagian banyak ciri-ciri anak autis, mereka lebih banyak pendiam. Kadang kala ada juga yang hiperaktif. Terkadang mereka tertawa atau menangis tanpa tau alasannya. Aryo sendiri termasuk anak yang hyperaktif di kelas. Ketika sehabis jam istirahat ibu guru menyuruh semua anak masuk kelas, semua anak disuruh mengerjakan tugas kolase membuat kaktus. Aryo tidak bisa diam di tempat dia berpindah-pindah sehingga membuat temannya terganggu. Aryo juga sering kali menangis di kelas, jika sudah menangis ia akan lama dan susah dan lama berhenti. Aryo mudah sekali marah kalau diganggu temannya. jika ia marah, ia susah sekali mengontrol emosinya.
2. Kurangnya kemampuan untuk menciptakan hubungan sosial dengan memadai. Kondisi ini ditandai dengan rendahnya kontak mata Aryo dengan orang lain, ekspresi muka yang terkesan datar atau dingin. Selain itu, gerak-gerik dari Aryo kurang begitu terarah.
3. Bahasa yang digunakan dalam berbicara, seringkali tidak menggunakan bahasa yang lazim digunakan oleh temannya. Di samping itu, bahasa yang digunakan cenderung disampaikan secara berulang-ulang.
4. Cenderung hidup dalam dunia mereka sendiri dan nyaman tanpa perlu berinteraksi dengan teman sebaya mereka. Aryo sering kali ketika jam istirahat tidak langsung bermain bersama teman-temannya, tetapi ia asyik sekali menggambar di temani oleh guru dan pengasuhnya.
5. Tiadanya rasa empati dan simpati atas masalah yang terjadi pada orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan Aryo yang tidak terlalu peduli dengan temannya. Ketika ia sudah menyelesaikan tugas kolasenya, Ibu Guru menyuruh menggantungnya untuk dikeringkan. Lalu ia berdiri menggantung tugasnya, tetapi karena tidak ada gantungan lagi, Ia malah melepaskan tugas temannya yang telah digantungkan dan menggantinya dengan tugasnya.
6. Biasanya anak yang menderita Autis sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa dari mulai ringan sampai berat. Aryo sendiri sensitive terhadap suara pesawat.
D.
Prognosis
Langkah
awal yang dilakukan untuk Aryo adalah saya melakukan pendekatan kepada Aryo.
Ketika jam istirahat saya mencoba untuk mengobrol dengan Aryo. Aryo memang
tidak terlalu melakukan kontak mata dengan saya, Ia tetap asyik melakukan
kegitannya. Tetapi setidaknya Aryo masih mau menjawab beberapa pertanyaan dari
saya.
Ketika Aryo dalam proses pembelajaran mulai
tidak bisa diam berpindah-pindah di tempat di kelas, saya mendekati Aryo dan
memberi tahu Aryo secara halus untuk duduk diam di lantai dan tidak mengganggu
temannya yang sedang mengerjakan tugasnya. Pada saat kebetulan anak-anak sedang
melakukan kegiatan kolase dan duduk di lantai yang beralaskan tikar.
Ketika
Aryo menangis tidak terkontrol, saya mencoba untuk membujuk Aryo dengan
kata-kata yang halus agar Aryo mau berhenti menangis. ketika Aryo mulai emosi
marahnya keluar saya mencoba untuk membujuknya dengan bahasa yang halus dan
mengelus punggungnya.
E.
Treatment
Dalam permasalahan Aryo, saya
mencoba memberikan penanganan sebagai berikut
:
1. Memberikan perhatian lebih kepada
Aryo, agar bisa lebih memahami Sikap
Aryo. Karena dengan
memberikan perhatian akan membuat si anak merasa ada di lingkungannya berada.
2. Mendekatkan
diri kepada Aryo, tidak membiarkan Aryo tenggelam dalm dunianya sendiri. Terus-
menerus mengajak Aryo untuk berkomunikasi. Ketika jam istirahat, saya mulai mendekatkan diri kepada Aryo. Saya
menemani Aryo yang sedang asyik menggambar dan saya menggajak aryo untuk
berkomunikasi. Walaupun awalnya ia tidak terlalu merespon, tetapi lama kelamaan
selama beberapa pertemuan saya dengan Aryo ia mulai merespon pertanyaan-pertanyaan
dari saya. Aryo juga mulai melakukan kontak mata dengan saya dan mulai menerima
saya.
3. Memberikan pujian kepada Aryo,
ketika ia telah melakukan perbuatan baik. Ketika itu Aryo membantu temannya.
Dengan memberikan pujian ia menjadi tahu bahwa berhubungan dengan orang lain
ternyata adalah suatu hal yang menyenangkan. Mengajak Aryo juga untuk bermain
bersama teman-temannya.
4. Ketika aryo mulai marah. Mulai
mencoba untuk mengetahui penyebab Aryo marah dan menenangkannya dengan cara
memeluknya agar lebih tenang.
5. Ketika Aryo menangis saya mencoba
untuk menenangkannya dengan memeluk dan mengelus punggungnya, agar ia lebih tenang. Setelah beberapa lama aryo pun mulai
menjadi tenang.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Autisme adalah gangguan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada anak
yang mengidap autis ini adalah kesulitan
membina hubungan sosial, adanya masalah berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain dan muncul kebutuhan untuk melakukan aktivitas
yang sama dan berulang dan juga sensitive terhadap cahaya, bunyi atau bau
tertentu mulai ringan sampai berat.
B.
Saran
Untuk menangani anak penderita
autis guru atau orang tua perlu
memberikan perhatian yang lebih kepada anak, agar dapat lebih mengerti
karakter anak. Sehingga guru atau orang tua akan dapat merespon emosi yang
keluar dengan tepat. Terus memberi stimulasi pada anak jangan biarkan anak
untuk tenggelam dalm dunianya sendiri, agar komunikasi dua arah anak
berkembang. Terus melatih insting social anak dan mengajarkan interaksi social antara
anak dengan guru maupun teman-temannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hildayani
, Rini dkk. Penanganan Anak Berkelainan (Anak Dengan Kebutuhan Khusus). Universitas terbuka.
Setyawan, Setiawan.
2012. Autisme dan Ciri-ciri Secara Umum. (Online). (http://shi-ghe.blogspot.com/2012/07/autisme-dan-ciri-ciri-secara-umum.html, diakses tanggal 29 November 2013)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar